IV PERKEMBANGAN LINGKUNGAN STRATEGIS
Perkembangan lingkungan strategis, baik global, regional maupun nasional, sangat mempengaruhi perkembangan dan kemajuan kelautan nasional. Perkembangan global atau internasional dapat mempengaruhi banyak hal, seperti: aturan main atau persyaratan dalam perdagangan dunia, tatacara pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kelautan, dan perkembangan ilmu dan teknologi dunia. Hal yang
sama juga terjadi pada kondisi lingkungan regional, seperti di lingkungan negara-negara Asia Tenggara atau ASEAN dan lingkungan
negara-negara Asia Pasifik atau APEC. Lingkungan nasional pun sangat pasti mempengaruhi perkembangan dan kemajuan kelautan nusantara, yang tentunya tidak terlepas dari perkembangan politik, ekonomi, sosial budaya dan Hankam
dalam negeri. Perkembangan lingkungan
strategis yang semakin dinamis tersebut merupakan perkembangan penting yang harus sejak dini
diantisipasi oleh para stakeholder kelautan.
Terlalu Panjang jika di uraikan dalam blogg, ingin dokumnet lengkap? silahkan Download
Download Via ziddu
Download via Dropbox
4.1 Perkembangan Global
Liberalisasi perdagangan merupakan ciri utama dari era globalisasi.
Globalisasi perekonomian dunia yang semakin kompleks dan kompetitif tersebut
menuntut tingkat efisiensi yang tinggi. Dampak dari kondisi tersebut adalah
persaingan yang ketat dalam kualitas produk dan jasa. WTO (World
Trade Organization) merupakan suatu wadah dalam sistem perdagangan di
dunia. Kini anggotanya mencapai lebih 90% dari total seluruh negara di dunia.
Ketentuan WTO dilandasi oleh prinsip perdagangan bebas dalam bentuk persaingan
bebas dan kawasan perdagangan bebas.
Umumnya negara-negara maju yang menjadi anggota WTO menginginkan dengan
segera adanya pasar yang terbuka di seluruh dunia dan memberikan peluang
persaingan yang sama bagi seluruh negara anggota. Namun hal tersebut bagi Indonesia tentu akan
menjadi suatu masalah, karena kapasitas atau kemampuan Indonesia untuk bersaing
masih terbatas dan juga belum mampu secara optimal memanfaatkan hak dan
kewajibannya sesuai ketentuan WTO.
Keikutsertaan Indonesia sebagai anggota WTO sangat penting, karena akan
melindungi dari persaingan yang tidak sehat dan juga mengamankan kepentingan
perdagangan Indonesia di dunia internasional. Indonesia masuk WTO tahun 1995,
kemudian membentuk komite anti dumpingnya tahun 1997. Hingga kini, sudah ada 30
kasus dumping yang ditangani oleh komite ini dalam rangka menyelamatkan produk
Indonesia.
Akibat
perkembangan global,
perekonomian nasional, termasuk aspek kelautan, dihadapkan kepada dua
masalah utama, yaitu hambatan tarif dan hambatan non-tarif. Padahal, seharusnya dengan globalisasi perekonomian dunia, masalah hambatan tarif
dan non-tarif tersebut dapat
diminimalkan. Namun, disinilah
letak permasalahan yang dihadapi banyak negara berkembang, termasuk Indonesia,
yakni munculnya hambatan tarif dan non-tarif yang diberlakukan oleh negara-negara
maju yang terkadang sering merupakan bagian dari upaya mereka dalam melindungi
industri dan kepentingan ekonomi domestiknya.
4.1.1 Hambatan Tarif
Hambatan tarif yang kini diberlakukan negara maju sangat bervariasi. Disamping itu, tingkat tarif bea masuk yang
diberlakukan juga biasanya sangat tergantung dari jenis komoditi hasil laut dan bentuk
olahannya. Secara umum, tingkat tarif
yang diberlakukan oleh Uni Eropa adalah yang paling tinggi dibandingkan dengan
negara-negara maju lainnya seperti: Jepang dan Amerika Serikat. Walaupun
beberapa negara Uni Eropa ada yang memberikan fasilitas GSP (Generalized
System of Preference) terhadap beberapa komoditi hasil laut yang diimpor
dari negara berkembang termasuk Indonesia, namun fasilitas GSP tersebut saat
ini sudah mulai secara bertahap dikurangi. Sebagai gambaran, tarif impor udang
segar beku dari Indonesia dinaikkan menjadi sekitar 8 %, sedangkan untuk udang
rebus beku naik menjadi 16 %.
Secara umum terlihat, Uni Eropa cenderung memberlakukan tarif bea masuk
yang paling tinggi, diikuti oleh Jepang dan Amerika Serikat. Tarif bea masuk biasanya akan semakin tinggi
bagi "value added product”. Disamping
tingkat tarif yang tinggi, Uni Eropa juga memberlakukan tarif secara
diskriminatif, dimana negara-negara bekas jajahan Uni Eropa yang tergabung
dalam kelompok ACP (Africa, Carribea and Pacific countries) mendapatkan
keringanan atau dibebaskan dari kewajiban membayar tarif bea masuk dengan
alasan untuk membantu perekonomian bagi "least developed countries”.
Dengan tingginya tarif bea masuk impor produk perikanan ke Uni Eropa, juga
melemahkan daya saing komoditi hasil laut Indonesia, khususnya ikan tuna kalengan. Hal ini disebabkan karena tarif bea masuk
ikan tuna yang diberlakukan adalah sebesar 24 %. Padahal komoditi serupa dari negara anggota ACP, tidak ada tarif atau bea masuk 0 %. Oleh karena itu, dalam beberapa tahun
terakhir ini telah terjadi pergeseran dominasi ekspor ikan tuna kalengan dari
negara-negara ASEAN ke negara-negara anggota ACP
utamanya dari Benua Afrika.
Tambahan lagi
posisi tawar Indonesia yang cenderung lebih lemah dibandingkan negara-negara
ASEAN lainnya utamanya Thailand dan Vietnam.
Seperti diketahui, walaupun mulai awal tahun 2000 Thailand sudah tidak
mendapatkan fasilitas GSP dari Uni Eropa, namun daya saingnya di pasar Uni
Eropa sangat kuat. Bahkan saat ini
Thailand adalah merupakan eksportir produk perikanan terbesar ke Uni Eropa dan
dunia.
4.1.2 Hambatan Non Tarif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar