Get Money

Senin, 29 Oktober 2012

PERKEMBANGAN LINGKUNGAN STRATEGIS


IV    PERKEMBANGAN LINGKUNGAN STRATEGIS


Perkembangan lingkungan strategis, baik global, regional maupun nasional, sangat mempengaruhi perkembangan dan kemajuan kelautan nasional.  Perkembangan global atau internasional dapat mempengaruhi banyak hal, seperti: aturan main atau persyaratan dalam perdagangan dunia, tatacara pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kelautan, dan perkembangan ilmu dan teknologi dunia.   Hal yang sama juga terjadi pada kondisi lingkungan regional, seperti di lingkungan negara-negara Asia Tenggara atau ASEAN dan lingkungan negara-negara  Asia Pasifik atau APEC.   Lingkungan nasional pun sangat pasti mempengaruhi perkembangan dan kemajuan kelautan nusantara, yang tentunya tidak terlepas dari perkembangan politik, ekonomi, sosial budaya dan Hankam dalam negeri.  Perkembangan lingkungan strategis yang semakin dinamis tersebut merupakan perkembangan penting yang harus sejak dini diantisipasi oleh para stakeholder kelautan.

 
Terlalu Panjang jika di uraikan dalam blogg, ingin dokumnet lengkap? silahkan Download

Download Via ziddu
Download via Dropbox 


4.1  Perkembangan Global

Liberalisasi perdagangan merupakan ciri utama dari era globalisasi. Globalisasi perekonomian dunia yang semakin kompleks dan kompetitif tersebut menuntut tingkat efisiensi yang tinggi. Dampak dari kondisi tersebut adalah persaingan yang ketat dalam kualitas produk dan jasa.  WTO (World Trade Organization) merupakan suatu wadah dalam sistem perdagangan di dunia. Kini anggotanya mencapai lebih 90% dari total seluruh negara di dunia. Ketentuan WTO dilandasi oleh prinsip perdagangan bebas dalam bentuk persaingan bebas dan kawasan perdagangan bebas.  Umumnya negara-negara maju yang menjadi anggota WTO menginginkan dengan segera adanya pasar yang terbuka di seluruh dunia dan memberikan peluang persaingan yang sama bagi seluruh negara anggota.  Namun hal tersebut bagi Indonesia tentu akan menjadi suatu masalah, karena kapasitas atau kemampuan Indonesia untuk bersaing masih terbatas dan juga belum mampu secara optimal memanfaatkan hak dan kewajibannya sesuai ketentuan WTO.

Keikutsertaan Indonesia sebagai anggota WTO sangat penting, karena akan melindungi dari persaingan yang tidak sehat dan juga mengamankan kepentingan perdagangan Indonesia di dunia internasional. Indonesia masuk WTO tahun 1995, kemudian membentuk komite anti dumpingnya tahun 1997. Hingga kini, sudah ada 30 kasus dumping yang ditangani oleh komite ini dalam rangka menyelamatkan produk Indonesia.

Akibat perkembangan global, perekonomian nasional, termasuk aspek kelautan, dihadapkan kepada dua masalah utama, yaitu hambatan tarif dan hambatan non-tarif.  Padahal, seharusnya dengan globalisasi perekonomian dunia, masalah hambatan tarif dan non-­tarif tersebut dapat diminimalkan.  Namun, disinilah letak permasalahan yang dihadapi banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, yakni munculnya hambatan tarif dan non-tarif yang diberlakukan oleh negara­-negara maju yang terkadang sering merupakan bagian dari upaya mereka dalam melindungi industri dan kepentingan ekonomi domestiknya.


4.1.1  Hambatan Tarif

Hambatan tarif yang kini diberlakukan negara maju sangat bervariasi.  Disamping itu, tingkat tarif bea masuk yang diberlakukan juga biasanya sangat tergantung dari jenis komoditi hasil laut dan bentuk olahannya.  Secara umum, tingkat tarif yang diberlakukan oleh Uni Eropa adalah yang paling tinggi dibandingkan dengan negara-negara maju lainnya seperti: Jepang dan Amerika Serikat. Walaupun beberapa negara Uni Eropa ada yang memberikan fasilitas GSP (Generalized System of Preference) terhadap beberapa komoditi hasil laut yang diimpor dari negara berkembang termasuk Indonesia, namun fasilitas GSP tersebut saat ini sudah mulai secara bertahap dikurangi. Sebagai gambaran, tarif impor udang segar beku dari Indonesia dinaikkan menjadi sekitar 8 %, sedangkan untuk udang rebus beku naik menjadi 16 %.

Secara umum terlihat, Uni Eropa cenderung memberlakukan tarif bea masuk yang paling tinggi, diikuti oleh Jepang dan Amerika Serikat.  Tarif bea masuk biasanya akan semakin tinggi bagi "value added product”.  Disamping tingkat tarif yang tinggi, Uni Eropa juga memberlakukan tarif secara diskriminatif, dimana negara-negara bekas jajahan Uni Eropa yang tergabung dalam kelompok ACP (Africa, Carribea and Pacific countries) mendapatkan keringanan atau dibebaskan dari kewajiban membayar tarif bea masuk dengan alasan untuk membantu perekonomian bagi "least developed countries”.

Dengan tingginya tarif bea masuk impor produk perikanan ke Uni Eropa, juga melemahkan daya saing komoditi hasil laut Indonesia, khususnya ikan tuna kalengan.  Hal ini disebabkan karena tarif bea masuk ikan tuna yang diberlakukan adalah sebesar 24 %.  Padahal komoditi serupa dari negara anggota ACP, tidak ada tarif atau bea masuk 0 %.  Oleh karena itu, dalam beberapa tahun terakhir ini telah terjadi pergeseran dominasi ekspor ikan tuna kalengan dari negara-negara ASEAN ke negara-negara anggota ACP utamanya dari Benua Afrika.

Tambahan lagi posisi tawar Indonesia yang cenderung lebih lemah dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya utamanya Thailand dan Vietnam.  Seperti diketahui, walaupun mulai awal tahun 2000 Thailand sudah tidak mendapatkan fasilitas GSP dari Uni Eropa, namun daya saingnya di pasar Uni Eropa sangat kuat.  Bahkan saat ini Thailand adalah merupakan eksportir produk perikanan terbesar ke Uni Eropa dan dunia.

4.1.2  Hambatan Non Tarif

Seperti pada hambatan tarif, jenis dan tingkat hambatan non tarif yang diberlakukan negara-negara di dunia juga sangat variatif, tergantung pada jenis produk dan negara pengimpor. Negara-negara berkembang umumnya semakin khawatir terhadap meningkatnya hambatan non tarif ini dalam perdagangan global, walaupun “Agreement on Non-Tariff Barriers" secara tegas menyatakan bahwa "setiap anggota WTO yang menggunakan hambatan non tarif harus benar-benar mengikuti kaidah-kaidah perjanjian yang telah disepakati, antara lain harus transparan, terukur, dan secara prosedural mudah diikuti oleh para eksportir. Uni Eropa adalah pihak yang paling banyak menerapkan hambatan non tarif dibandingkan negara maju lainnya, seperti Amerika Serikat dan Jepang.  Sebagai gambaran, hambatan non tarif yang sering diberlakukan oleh negara-negara maju terhadap komoditi perikanan adalah sebagai berikut:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar